CERITA DEWASA PENARI JALANAN JELITA MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN JELITA MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN JELITA MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak48 Seluruh orang didalamnya perlu berusaha dan berkorban agar tak tergusur, serta tidak semuanya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi berarti tidak hanya itu. Denok  mempunyai arti montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda yakni orang penari, dan kerapkali ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti di saat satu hari saya dan Simbok temukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak punyai banyak hutang karena sebab edan judi, serta beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati sebab Bapak sudah tak ada, tetapi juga kebingungan sebab sekian hari seusai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil agen judi yang memberinya hutang ke Bapak. Kami tidak mempunyai tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima sebab dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak butuh ijazah, lawan banyak. Pada akhirnya seusai cukuplah lama mengamati beragam peluang yang ada, Simbok memastikan untuk menggunakan ketrampilan kami. Dengan modal kemeja serta peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang bersiap ujian akhir SMA atau jalani tahun awalan kuliah, serta yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan baru, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengkaji jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak ringan pun cari uang melalui langkah sesuai ini, paling-paling yang kami temukan hanya buat makan kami berdua, satu atau 2x dalam hari itu. Dan gak di semuanya tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang siap bayar, terkadang kami justru ditendang atau dihardik. Sehabis lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat selalu bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekitarnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah masing-masing. Kedatangan kami dari sana terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meski seringkali helai-lembar itu diserahkan ke kami kurang santun umpamanya dengan diumpetkan ke busana kami. Apa saya serta Simbok betul-betul merayu? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Sebagai anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula sejak dulu selalu mengajarkan dan memperingatkan saya buat menjaga badan walau secara simple, jadi walaupun sawo masak, kulit saya terus mulus serta tidak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul  sich jika disebut saya montok. Tidak tahu mengapa, biarpun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya selalu cemas dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya pula kuat dikarenakan dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang kira demikian. Terherannya, meskipun atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu benar-benar elok. Sampai usia begitu juga beliau terus elok. cerpensex.com Ditambah lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu berasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok semua ngomong saya elok. Saya pikirkan, ini mah pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu kali pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga sampai lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat jadi tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh, WAJIB 4D


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu buat suka yang melihat."


Makin lama saya biasa  pakai dandanan semacam itu, jadi saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari tercipta penganten, bentar kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, seperti sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi betul-betul yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, tragedi hadir kembali. Waktu tengah nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kronis. Saya kuatir, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit sehabis 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya sejak mulai ketabrak pula Simbok tidak ada angan-angan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga tidak sampai hati saya menyaksikannya. Saat itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, karena itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tak mau tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penguburan, justru perlu berutang kemanapun. Saya tidak sanggup melangsungkan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewa saja sebab begitu sendu. Kemungkinan setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok, pula kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis dan saya  perlu menghadapi beberapa tukang tagih hutang yang tak mau tahu kesukaran saya . Sehingga, satu minggu setelah Simbok dikebumikan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar gak tampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang miliki sewa. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak mempunyai uang, jadi saya hanya dapat katakan maaf, dan sang ibu justru ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, tukasnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya halangan untuk saya. Saya pengin usaha dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN JELITA MENJUAL DIRI


Naasnya, hari itu pasar lumayan sepi, dan selepas dua jam saya anyar bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan pemikiran, bagaimana metodenya agar kelak bila pulang telah miliki cukup uang untuk bayar sewa. Belum beberapa hutang yang lain. Saat siang, saya lagi jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan sedang hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu sekedar mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Namun saya mesti katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis buat cost penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya." WAJIB 4D


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya dongkol tetapi tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Cuman seramnya saya tak dapat dapat uang ini hari untuk bayar kontrak. Kalaupun berjualan, saya tidak punyai apapun, harus jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa artinya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya butuh uang, namun apa harus dengan langkah semacam ini? Tetapi kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya tidak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai tidak terdengaran. Bila saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah nampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi menyaksikani lantai, tidak berani mengusung kepala, tetapi kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari memandang kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memberikan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian omong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Kemungkinan ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ujarnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak sempat mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya terus kuatir. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Bila tak ingin ya udah," tukasnya dengan suara kurang puas.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada laki laki terang-terangan ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu barusan disimpan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ujarnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal kalinya saya serta Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat mendapat uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya dapat duit sekitar itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat beroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan memohon saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Kemungkinan sebab barusan saya malu dan pelan satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya serta menguak kain batik saya. Saya seketika mundur, namun tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan pula menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, serta saya kian deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya telah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa mestinya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sekalian saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, tetapi gak tahu mengapa, saya  kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan terus menerus memandang sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Mari donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama